Tanah
Airku Indonesia
Sekarang
tibalah untuk kita di Tanah Air Indonesiayang menuntut kita melakukan
pembarauan. Indonesia bagaikan serpihan surga. Begitulah ungkapan seorang Arab
yang hidup di suasana gurun pasir dan baru pertama kali melihat Indonesia.
Indonesia adalah negara yang indah, terletak di antara dua benua dan dua
samudera yang strategis,serta memiliki kekayaan dan sumber daya alam yang luar
biasa, sehingga menjadi pusat perhatian negara-negara di dunia. Sejumlah negara
ingin menguasaikekayaan dan sumber daya alamnya, mulai dari minyak bumi, gas
alam, tambang emas, kekayaan laut, hutan, sampai hasil pertaniannya.
RAYUAN PULAU KELAPA
Oleh:
Ismail Marzuki
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja s’panjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa sejak
dulu kala
Melambai-lambai, nyiur di pantai
Berbisik-bisik, Raja K’lana
Memuja pulau, yang indah permai
Tanah irku Indonesia
Menurut
Pluto, suatu bangsa akan selamat bila dipimpin oleh seorang yang dipimpin oleh
kepalanya, (akal sehat, ilmu pengetahuan, dan hati nurani), bukan oleh seorang
yang dipimpin oleh otot dan dada (arogansi), bukan pula oleh perut
(keserakahan), atau oleh sesuatu dibawah perut (hawa nafsu).
Indonesia laksana gadis cantik nan
mempesona yang terus dirayu oleh para pemuda nakal agar kekayaan dan sumber
daya alamnya jatuh ke tangan mereka.
Sejarah telah menunjukan hal itu. Sekian ratus tahun para penjajah mencengkramkan
kukunya di republik ini. Tujuan mereka adalahmenyebarkan ideologi dan menghisap
kekuasaan alam bangsa ini. Semua itudilaukakannya hanya untuk memuaskan hasrat
mereka.
Kepemimpinan yang dikuasi nafsu dan
kesombongan akan menghasilkan kehancuran, sedangkan kepemimpian yang dikuasai
akal sehat dan ketulusan hati nurani akan mencapai keselamatan. Inilah yang
menjadi gambaran dinamika negara kita.
Sementara itu, kondisi bangsa
Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan karena semua karakter dan perilaku
yang menyebabkan kehancuran bangsa-bangsa terdahulusudah hadir di tengah
kehidupan kita, terutama rusaknya akhlak para pemimpin, dari pimpinan tertinggi
hingga pimpinan terendah. Keadaan ini tentu membutuhkan perbaikan dan perubahan
sesuai dengan tuntunan ajaran.
Nyalakan
Api Nasionalisme
Tanah
dan air adalah elemen penting tubuh manusia. Falsafah hidup ini kemudian
dipatenkan dalam lagu kebangsaan kita, Indonesia
Raya. Indonesia sebagai tanah air laksana jasad tubuh kita. Namun jasad
tanpa jiwa, sama dengan orang mati, alias hidup yang tanpa makna. Karena itu,
dalam lagu kebangsaan Indonesia dihimbau … bangunlah
jiwanya …, artinya api jiwa harus dinyalakan agar membangun kejaan.
Allah yang dengan kasih saying-Nya
menjadi tempat bergantung semua makhluk ciptaan-Nya. Laksana rating dahan dan
daun, semua melekat pada pohon dan akarnya. Itulah kalimat thayyibah.
Mekah diibaratkan dengan matahari, sedangkan Madinah
dapat diibaratkan dengan bulan, yang keduanya dapat member arti bagi bangsa di
seluruh dunia dalam memancarkan ajaran tauhid bagi umatnya agar kembali pada
sinar Tuhannya yang maha terang. Ia memutuskan kekasih-Nya Nabi Ibrahim yang di
teruskan oleh Baginda Alam Nabi Muhammad saw. Kalimat thabiyyibah-lah yang mampu membuat dunia menjadi terang.
Rasulullah adalah sosok yang senantia memperhatikan umatnya, ummati… ummati…
Umat Rasulullah laksana ikan dalam kolam. Agar ikan itu bagus, kebersihan
airnya juga harus diperhatikan, pinggir kolamnya jangan sampai bocor, setiap
hari diberi pakan agar ikannya tumbuh besar. Begitulah gambaran nasionalisme
Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw. Perhatian pada umat diibaratkan dengan
perhatian pada kolam dan seluruh komponen ekosistem kolam. Artinya, perhatian
pada umat juga harus memperhatikan negara, kehidupannya, budayanya, dan batas
kedaulatannya, agar dapat mengimlpementasikan ajaran tauhid tadi.
Begitu juga dengan Indonesia, yang
jelas batas-batas wilayahnya, jelas falsafah negaranya, jelas undang-undang
dasarnya, jelas bahasanya, jelas kekayaan negaranya. Namun, mengapa tidak jelas
aliran kekayaan negaranya. Akibatnya, rakyatnya menjadi miskin dan bodoh. Ini
semua karena apinya redup dan sinarnya temaram.Namun yang jadi pertanyaan, ke manakah
api nasionalisme para ulama, para hujaj, para ustadz, para kiai, dan para
anjengan? Mengapa api mereka tidak bias menerangi bangsa ini, tidak bias
membakar carut-marutnya masalah negeri ini? Padahal, negera ini tengah
kegelapan karena tidak ada nyala api. Nasionalisme pemimpin republic ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, negara ini gelap gulita dengan syahwat
politik dan syahwat duniawi yang muncul dimana-mana.
Alhasil, sumber masalah bangsa ini
terletak pada dapur kepemimpinan dan akhlak masyarakatnya, sehingga terjadilah
kerusakan menyeluruh dan sistematis. Dalam ketiadaan figur, harapan tinggal
bertumpu penguatan ekonomi individu. Seperti sabda Nabi, “Setiap kamu pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Oleh karena itu, akan muncul dua
penyakit yang ekstrim.
Pertama,
penyakit kaum yang melakukan politisasi agama. Mereka kerap mengklaim bahwa
Tuhan berada di pihak mereka. Mereka itulah yang penganut formalism,
triumfalisme, merasa benar sendiri, dan berpegang pada teologi kekerasan.
Mereka juga beranggapan bahwa Tuhan telah dipenjara oleh nafsu mereka, sehingga
dipaksa membenarkan apapun pilihan politik dan keinginan nafsu mereka. Ini
ibarat orang yang makan cabai sekaligus tanpa dikunyah tadi, sehingga rasa
tauhid sama sekali tidak dirasakan dalam hatinya.
Kedua,
penyakit kaum sekularis, yakni kaum yang mengenyahkan Tuhan dari ruang publik,
dengan pretense untuk memenjarakan agama di ruang privat dan memisahkan
moralitas agama dari kehidupan politik. Inilah kaum yang tidak mau makan cabai
karena alergi. Dua kelompok yang berpenyakit ekstrim mestinya diajak duduk
bersama dan diajarkan cara makan cabai yang pedas itu.
Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang dipayungi sifat
kasih saying. Sifat ini seharusnya menjadi raja setiap pemimpin agar dirinya
tidak dikendalikan hawa nafsunya, serta mampu memberikan rasa damai dan
kesejahteraan. Sifat inilah yang akan membuat pemimpin bijaksana, perkasa, dan
tetap melayani rakyat (lihat bagian akhir surah Al-Hasyr). Denga cara inilah
agama akan menjadi api nasionalisme atau
energi perubahan (The Power of Changes),
sehingga spiristualisme agama dapat mengantarkan misi profetik menjadi cahaya
diujung terowongan yang gelap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme Indonesia ( Ta’mirul bilad )
Perbedaan
ajaran antara timur dan barat sangat jelas seperti jauhnya antara timur dan
barat. Pendidikan barat berakhir dengan materi, dan terbukti melahirkan
kolonialisme, peperangan, penidasan, dan sebagainya, sebagai konsekuensi logis
yang kita rasakan. Adapun pendidikan timur, khususnya islam, bukan berakhir
dengan materi, melainkan dengan ruhiyyah
atau spiritual. Tujuan ruhiyyah ini
dalam bahasa arab dapat didekatkan dengan kata ta’mir. Namun yang kurang dimengerti, istilah ini dapat
dicampurbaurkan dengan istilah isti’mar.
seperti ta’mir bilad yang artinya
jauh dari isti’marul bilad. Ta’mirul
bilad artinya memakmurkan Negara, yang dikemas dengan nasionalisme,
sedangkan isti’marul bilad berarti
penjajahan atau ekploitasi Negara (pesabtren gontor, 1996)
Kedua istilah ini digunakan dalam Al-Quran. Kata isti’imar digunakan dalam surah Hud ayat 61. Kata ini digunakan
terkait dengan sumber daya alam yang terdapat didalam bumi untuk dimanfaatkan
atau dieksploitasi supaya memberikan kemakmuran. Allah sendiri memberikan bumi
untuk dikelola manusia. Jika disandingkan dengan isti’imarul bilad, kata itu berarti semangat untuk mengeksploitsi
sesuatu Negara demi kemakmurannya.
Kata ta’mir disandingkan dengan kata ya’muru
dalam surah At-Taubah ayat 18. Kata ya’muru
tersebut terkait dengan memakmurkan masjid sesuai dengan fungsinya,
terutama sebagai pusat aktivitas orang beriman dalam membina umat mausia agar
bertakwa kepada Allah. Jika disandingkan dengan kata bilad, istilah ta’mirul bilad
berarti memakmurkan Negara yang sepadan dengan bangkitnya bangsa-bangsa
dalam memakmurkan negaranya dan membebaskan diri dari penjajahan bangsa lain
atau yang identik dengan semangat nasionalisme.
Secara bahasa, makna ta’mir dan isti’mar jelas berbeda. Untuk mencapai isti’marul
bilad dalam pengertian penjajahan, barat memperkenalkan ide
nasionalisme. Nasionalisme ini merupakan semangat baru, yaitu semangat
berbangsa-bangsa. Meski memperkenalkan ide ini kepada Negara-negara islam dan
Negara dunia ketiga, barat justru memecah-belah bangsa-bangsa.
Kebangkitan Islam dalam Kebangkitan Indonesia
Kebangkitan Islam dan kebangkitan
Indonesia bermula dari perang ide dan pemikiran (ghazwul fikri).
Sementara kemenangan Barat bermula dari keberhasilan mereka menyebarkan ide dan
pemikiran yang menyesatkan umat Islam. Setelah beberapa abad lamanya, akhirnya
umat Islam menyadari kemenangan Barat atas mereka. Karena itu, dengan
berakhirnya abad 15, timbul keasadaran baru umat Islam. Kesadaran ini
berdasarkan siklus sejarah umat manusia. Apabila dihitung sejak lahirnya
Baginda Rasulullah hinga jatuhnya Konstantinopel, kebangkitan umat Islam
berumur 7 abad. Namun kemudian, umat Islam kembali jatuh disusul kebangkitan
Eropa dengan gerakan renaisance-nya (revolusi kebudayaan). Dengan demikian,
kejayaan Barat telah berusia 7 abad. Ini mengisyaratkan bahwa kejayaan mereka
sudah di ambang kehancuran.
Di
awal kebangkitannya, Iskam maju dengan pesat, namun setelah 7 abad berjalan
kondisinya menurun, sehingga mengalami kemunduran dan terjajah. Pada awal abad
20, semangat kebangkitan itu kembali muncul dipelopori Syaikh Jamaluddin
Al-Afghani.
Kebangkitan
demi kebangkitan tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama dan para sufi
sebagai mesin penggerak (prime mover) kehidupan bangsa dan negara.
Mereka dikaburkan dengan gerakan radikalisme sehingga diklaim sebagai teroris.
Mereka dikaburkan dengan Islam yang dekil dan kumel alias higenis,
agar dijauhi oleh umatnya. Namun kebangkitan yang dipeloporinyatelah membawa
kita kembali pada ajaran akhlak dan jiwa sosial, sebagaimana yang terkandung
dalam falsafah negara kita Pancasila dan spirit nasionalisme.
Kekuatan Penjajahan Era Globalisasi
Pembukaan
Undang-Undang dasar 1945 merupakan ruh kemerdekaan sekaligus semangat membangun
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar bebas dari dominasi para
penjajah Belanda dan Jepang yang pernah dirasakannya selama 350 tahun.
Selanjutnya PPAD menjelaskan cara
perang kontemporer, yaitu dengan menggunakan alam pikiran sebagai medan
tempurnya. Model peperangan baru ini disebut dengan Perang Generasi ke-4.
Begitulah kaum imperialis yang sejatinya tidak pernah meninggalkan syahwat
kolonialismenya, yang secara konsisten terus berusaha menguasai sumber daya
alam dan energi lain. Mereka menyadari bahwa penggunaan kekuatan militer
seperti zaman colonial atau zaman VOC dulu sudah usang, tidak efektif, dan
secara politik diplomatik terlalu beresiko, sehingga kekuatan militer hanya
digunakan sebagai alternatif terakhir manakala penggunaan soft power mengalami jalan buntu seperti di Irak dan Afganistan.
Dalam konteks peperangan, kita patut
berkaca pada pengalaman Uni Soviet yang memiliki 140 etnis. Setelah Glasnot Perestroika, negara ini pecah
menjadi 15 negara, bahkan mungkin lebih. Dan kita tau bahwa beberapa tahun
silam, Timor Timur lepas dari Indonesia bahkan belahan provinsi lain, seperti
Aceh, sempat mengalami pergolakan dan ingin melepaskan diri. Oleh karena itu,
semangat agama, nilai-nilai Pacasila, dan UUD 1945 harus tetap menjadi perekat
dan pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Spirit Nasionalisme Ulama
Sejak merdeka hingga saat ini,
Indonesia terus di rongrong perpecahan. Tujuannya hanya satu agar kepentingan
ekonominya tetap terpenuhi. Untuk itu, bansa Indonesia dari sabang sampai
Merauke harus memiliki kesadaran bahwa penjajahan saat ini, bukan lagi dengan hard power, melainkan dengan kekuatan soft power.
Imprialis Timur yang berujung Perang
Dunia II, 1939-1945 M dan Perang Pasifik yang melanda Indonesia mulai 1942
hingga 1945 M. Selain penindasan,para ulama juga dihadapkan pada sejumlah
tantangan mulai dari masa VOC hingga pada masa pemerintahan Kolonial
Belanda,seperti:
1) Korte
Verklaring, menghapuskan kekuasaan politik islam;
2) Monopoli,
menghilangkan hak pemasaran bagi umat islam;
3) Kewajiban kerja rodi dan pembayaran
macam-macam pajak;
4) Regeringsreglement,
penghalang hak berkumpul dan berorganisasi umat islam;
5) Ordonansi
Agama, melarang aktifitas agama
non-Protestan;
6) Ordonansi
Guru, penghambat kebebasan pengajar;
7) Ordonasi
Sekolah Liar, penghambat aktifitas sekolah
swasta;
8) Ordonasi
Haji, melarang pangreh pradja, soeltan,
ambtenar melaksanakan haji dan mempersulit umat islam dalam pelaksanaan
pemberangkatan dan pemulangan haji;
9) Ordonasi
Perkawinan, system pencatatan pernikahan yang
bertentangan dengan system perkawinan berdasarkan syariat islam;
10) Menghapuskan segenap hak usaha, umat islam di bidang niaga,
transportasi darat, laut, dan udara.
Selanjutnya,
Suryanegara (2010) meresum gerakan perjuangan ulama sampai menjelang pendudukan
tentara Jepang sebagai berikut:
a. Pembangkit kesadaran ekonomi nasional,
melalui Sjarikat Dagang Islam di Surakarta yang dipimpin oleh Haji Samanhoedi,
16 Oktober 1905. Namun ditandingi oleh Tirto Adhi, Sarekat Dagang Islamyah
didirikan di Bogor 5 April 1909 M, yang mendapatkan dukungan Asisten Residen
Ciamis Van Zuthpen, Controlir Ciamis Weiffenbach dan Bupati Ciamis, R.A
Koesoemabrata
b. Pembangkit kesadaran Pers Nasional
melalui Taman Pewarta, 1902-1915 M, yang mampu eksis selama 13 tahun. Ditandingi
oleh Tirto Adhi Soerjo dengan media cetaknya, Medan Prijaji, 1909-1912 M,
Soenda Berita 19-3-1904 M, Poetra Hindia 1909-1911 M, yang mendapatkan dukungan
dana dari Bupati, Controler, dan Ratu Wilhelmina karena telah berjasa membantu
penjajahannya:
c. Pembangkit kesadaran berpolitik nasional
melalui National Congres Centraal Sjarikat Islam di Bandung17-24 juni 1916 yang
dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Abdoel Moeis dan Wignjadisastra.
d. Pembangkit gerakan sosial pendidikan:
1) Persjarikatan Moehammadijah 1330 H/1912
M oleh KH. Achmad Dachlan di Jogyakarta
2) Taswiroel Afkar, 1332 H/1914 M dan
Nahdlatoel Wathan, 1335 H/1916 M oleh KH. Wahab Chasboelah dan KH Mas Mansoer
di Surabaya
3) Persjarikatan Oelama, 1333 H/1915 oleh
KH. Abdoel Halim di Majalengka, Jawa Barat, kemudian bersama KH. Achamad
Sanoesi dikembangkan menjadi Persatoean Ummat Islam (PUI)
4) Matlaoel Anwar 1334 H/1916 M oleh KH. M.
Jasin di Menes, Banten. Setalah didirikannyaNahdlatoel Oelama disebut Matlaoel
Anwar lil NO
5) Persatoean Islam 1341 H/1923 M oleh KH M
Joenoes, KH. Zam zam, KH. Tojib bin Samsudin, dengan Guru Oetama Toean A. Hasan
di Bandung Jawa Barat
6) Nahdlatoel Oelama (NO) 1344 H/1926 M
oleh KH Hasjim As’ari di Surabaya, Jawa Timur
7) Pergerakan Tarbijah Islam 1346 H/1928 M
oleh Sjech Soelaiman Al-Rasoeli di Minagkabau Sumatera Barat
8) Djamiatoel Al-Waslijah 1348 H/1930 M
oleh Sjech Mohammad Joenoes dan Sjech Djafar Hasan di Medan, Sumatera Utara
9) Nahdlatoel Wathn 1352 H/1934 M oleh KH.
Moehammad Zainoeddin Abdoel Madjid di Pancor Lombok
Setiap ada gerakan social,
pemerintah Belanda membuat tandingannya agar tidak memiliki kekuataan dan
gerakannya terpecah, sehingga kekuatan perlawanan kepada penjajah menjadi
lemah. Inilah strategi pemerintahan colonial dalam melestarikan penjajahnya.
Sartono
Kartodirdjo dalam Suryanegara (2010) menyimpulkan bahwa gerakan pembaruan
social pendidikan Islam di Jawa Barat.
Setelah itu, pengguna nama Indonesia
di kalangan umat Islam bias di lihat pada nama-nama beriku:
a. Comite Persatoean Indonesia (1344 H/
1926 M);
b. Partai Sjarikat Islam Indonesia 1344 H/
1926 M;
c. National Indonesiche Padvinderij 1345 H/
1928 M;
d. Madjlis Oelama Indonesia 1346 H/ 1928 M;
e. Partai Islam Indonesia- PARRI 1351 H/
1932 M;
f. Partai Islam Indonesia- PII 1357 H/ 1938
M;
g. Majlis Islam A’la Indonesia 1356 H/ 1937
M;
Ulama dengan segenap yang di milikinya, mulai harta,
tenaga, ilmu, sampai jiwanya, senantiasa memiliki semangat juang dalam
menghadapi penjajahan. Mereka mempertahankan Tanah Air tak ubahnya
mempertahankan Tanah Haram. Mereka mengharamkan negerinya diinjak-injak atau
dmasuki kaum penjajah.
Inilah fakta sejarah perjuangan umat Islam Indonesia
dengan spirit kebangsaannya. Spirit kebangsaan inilah yang menjadi dasar
pertimbangan Pemerintah Kolonial Jepang di bawah Jendral Kumashiki Harada
memutuskan dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Mengingat
semangat jang berkobar-kobar serta djoega memenoehi keinginan jang sangat dari
50 djoeta di Djawa, yang hendak membela tanah airnja dengan sendiri, maka
Balatentara Dai Nippon membentoek Tentara Pembela Tanah Air ja’ani pasoekan
soeka rela oentoek membela Tanah Djawa dengan pendoedoek asli, ialah berdiri
atas tjita-tjita membela Asia Timoer Raja bersama-sama”.
Belum ada tanggapan untuk "NEGARAKU INDONESIA (IMPLEMENTASI PEMBARUAN INDONESIA)"
Post a Comment